Selasa, 16 Desember 2014

Aku Butuh Kamu, Pak.

Bapak, mengapa pergi secepat itu. Di saat aku sangat membutuhkan sosokmu dalam hidupku. Untuk menjagaku, menemaniku, meluapkan segala yang ada dalam hatiku, bermanja-manja tak peduli kedua kakakku protes karena kamu hanya bersamaku. Aku masih ingin dengar candamu. Aku ingin mendengar kamu menegurku atau sekedar marah padaku. Tapi yang ada selalu kasih sayang. Aku iri juga pada kakak yang tahu bagaimana ekspresimu ketika marah, 

Dahulu selalu kita bersama-sama. Ketika pulang sekolah taman kanak-kanak kamu menjemputku, kita jalan-jalan dengan motormu dan aku tak mau kakak-kakakku ikut. Aku juga masih ingat dulu aku selalu meminta uang jajan padamu. Aku hanya meminta Rp 500 kamu memberikanku Rp 5000 dan uang Rp 500 kamu berikan kepada temanku. Dan aku dengar kamu juga begitu terhadap murid-muridmu. Siapa yang mau membelikan rokok untukmu kembalian yang tak sedikit itu kamu kasih ke mereka yang mau membelikan.

Sekarang, tahukah kamu Pak? Masih, setiap aku menangis ada masalah, aku selalu memanggilmu berharap Tuhan mau membiarkanmu sejenak untuk menemuiku, merengkuhku dan merdakan tangisku. Saat-saat sulit seperti yang aku hadapi kemarin aku memanggilmu, sangat berharap kamu di sisiku, karena ku tak bisa mengungkapkan masalahku kepada Ibu. Kamu tahu saat itu Ibu sedang sakit, aku tak mau menambah sakit yang dideritanya. Aku putus asa, karena selain kamu tak ada yang memahami. Aku ketakutan. Dan sekarang rasa takut, putus asa, kecewa, menyesal masih ada padaku, Pak. Lebih dalam lagi perasaan itu karena sampai saat ini aku belum dapat memberikan kebanggan pada Ibu dan Bapak. Meski aku tak dapat melihatmu, aku tetap merasa bersalah. Ibu pernah bilang, seandainya masih ada Bapak mungkin kehidupan kita bisa lebih baik dari ini. Tapi aku tahu kamu tak akan kembali, kamu telah damai bersamaNYA.

Meskipun hanya sebentar aku mengenalmu, aku sungguh terima kasih atas kasih sayang yang kamu berikan padamu sedalam itu. Ternyata kehadiranmu begitu berharga untukku, Pak. Sungguh sakit Pak, aku melihat seorang Bapak yang bela-belain menghutang kemana-mana hanya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Setelah anaknya itu, menjadi 'manusia' dia ternyata melupakan Bapaknya. Karena kesalahanpahaman. Anak itu tak mau melihat Bapaknya dan keluarga. Anak itu belum tahu bagaimana kehilangan seorang Bapak sungguh sepi, seharusnya dia bersyukur masih bisa melihat Bapaknya, seolah hatinya sudah tertutup oleh keangkuhan dan menganggap keberhasilannya hanya di dapatkan oleh dirinya sendiri. Padahal kan Pak, ada orang lain yang membantunya, ada seorang Bapak yang bersedia menebalkan muka untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan cara meminjam. Bagaimana perasaannya apabila orang yang selama ini membesarkannya, melakukan apapun demi dia, meninggalkannya selama-lamanya dan dia tak dapat melihatnya lagi? Akankah dia merasa kehilangan seperti aku kehilanganmua.

Aku merasa iri ketika dulu mengambil rapor hanya Ibu yang menemani. Teman-temanku selalu di antar orangtua mereka. Sungguh beruntungnya mereka, ada rasa bangga.

Aku percaya meskipun jasadmu sudah tiada, jiwamu masih bersama kami, bersamaku. Mengawasiku sambil tersenyum atau menangis. Aku akan berusaha menjaga Ibu, orang yang masih ada di sisiku. Mulai saat ini aku akan berusaha memberikan kebanggaan pada Ibu dan Bapak, berusaha mengukir senyuman lagi di wajah kalian.

Terima kasih untuk semuanya Pak. Aku selalu rindu kamu. Ketika rindu datang hanya lembaran kenangan yang aku dapat buka setiap waktu. Lembaran-lembaran kenangan yang tak akan pernah aku hapus. 

I Love You, Pak...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar